Minggu, 18 Oktober 2009

Cerpen

Peradilan Rakyat
Cerpen: Putu Wijaya


Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***selesai



Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi
Cerpen : Seno Gumira Ajidarma

“Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.
”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
”Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
”Ssssstttt!”

Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia.
Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang mungkin tidak teralu merdu tapi ternyata merangsang khayalan menggairahkan. Suara wanita itu serak-serk basah, entah apa pula yang dibayangkan orang-orang dibalik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada disana.
Hanya hansip yang masih sadar.
”Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan seperti kenyataan.

Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan. Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah tubuh yang telanjang. Bunyi sabu menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya ya suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.
”Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.
”Betul kan pak, suaranya sexy sekali ?”
”ya.”
’Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”
***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar Nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepenjang gang itu terganggu.
”Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
”Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya sexy sekali!”
”Saya bilang Sexy sekali, bukan hanya sexy. Kalau mendengar suaranya, orang langsung membayangkan adegan-adegan erotis Pak!”
”Sampai begitu?”
”Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan karena apa!”
”Karena apa? Saya tidak tahu.”
”Karena sering di pakai dong!”
”Dipakai makan maksudnya?”
”Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”
”Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”
”Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk stabilitas sepanjang Gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi keidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
”lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah, dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalh imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu di sepanjang gang itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga mempengaruhi kehidupan sexual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap sexy dengan gambaran umum mengenai suara yang sexy. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tau duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak basah.
”Jadi suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah? ”
”Betul, Zus”
”Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang bukan-bukan?”
”ya, kira-kira begitu Zus.”
”Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang dibelakang rumah membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibinya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.
”Baiklah Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” Ujarnya dengan suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya,  sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
”Aduh, terimakasih banyak Zus. Harap maklum Zus, saya Cuma tidak ingin masayrakat menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar mandi diujung gang itu. Pak RT merasa lega. ”semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya. Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-sungguh merah.
***
Tapi Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.
”Kaum ibu sepanjang gang ternyata masih resah pak.”
”Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”
”Betul Pak, tapi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena membayangkan suaranya yang serak-serak basah yang sexy, lagi-lagi meraka membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami mereka masih dingin ditempat tidur, pak!”
”Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan! Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu.
”Saya belum kawin, pak.”
”Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalu mendengar dia mandi?”
”Ehm! Ehm!”
”Apa itu Ehm-Ehm?”
”Iya, Pak”
”Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”
”Mereka ingin minta wanita itu diusir Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut dikepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalu teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu mereka yang sempit.
”Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah keterlaluan.”
”Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau tahu. Mereka menganggab bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi nyanyian bersuara serak-serak basah yang sexy, sehingga para suami masih membayangkan suatu pergumulan di ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya.
”Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati dikampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah seharusnya.
”Begitulah Zus, ” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya sendiri. ”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri sebelum bicara.
“Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa di pastikan itu. Ibu-ibu yang sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak basah itu.
***
Pada suatu sore, disebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.
”Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
”Sudah. Jangan diingat-ingat” sahut istrinya cepat-cepat.
”Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak basah.”
”Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
”Kalau dia menyanyi suaranya sexy sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu ku peluk dan kubanting ke tempat tidur. Seandainya ..”
Belum habis kalimat suami itu, ketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar sepanjang gang.
”Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu melolong-lolong.
”Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adgan ranjang lagi dengan wanita itu! Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adgan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang sexy itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, iasegera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia memutuskan, agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutusakan bahwa di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, disepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:
Taman Manggu, 29 Desember 1990

Cerpen SGA ini diambil dari Buku Antologi cerpennya yang berjudul “ Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi”.

Sabtu, 17 Oktober 2009

Puisiku

Kumpulan puisi Hernowo Bayuaji

Malam

Malam masih berputar di otakku
Bahkan rembulan masih menampakan setengah wajahnya digelas minumanku
Selubung senja mengayun di balik atap di bawah mimpi yang tertidur
Pepohonan membayang menutupi rembulan melamun
Jalanan terdekap sunyi,malam riuh terbungkam
Kau ada dimana;wanita bermata anggrek biru


Setengah rotasi bumi telah keputusan mencari bayangnmu,sehelai-sehelai kata
Mengalun diiringi melodi rendevous
Jendela tua tempat bersandar hati menoreh samudra rindu
Akankah waktu berpaut;masih berpihak padaku?
Lupakan perjalanan kita,karena sebuah perjalanan tak akan melaju mundur
Catatan yang kutulis tak kosong terkuak,hingga kata
menghinggapinya mencium sajak
Biarkan kata terus mengalir malam ini,agar sinarnya terpantul rembulan yang bersolek di atas samudra


Kata berubah menjadi bait setelah penyair memainkanya dalam danau kepedihanya
Namun penyair tak dapat mengubah nasibnya sendiri;biarkan ia mengalir
Hantu keabadian seolah berubah menatap langit yang tertidur,luas terhampar dihiasi bintang kerinduan
Akankah masih berpihak padaku?
Lupakan kata yang menjadi tongkatku,lupakan lentera yang berpijar diantara hati
Biarkan baitku menghiasi malammmu malam ini, bukankah akan terlihat estetik?
Aku tak habis berpikir, romeo dan juliet berpelukan mati di ranjang atau di pemakaman
Yang aku inginkan
Kau menggigil kerinduan membaca bait yang kutuliskan

Karya: Hernowo Bayuaji



Malam

kesunyian terpahat di matamu
saat kau patahkan asaku
terbuang jauh dihempas angin, dimainkan riak sungai hingga
tercecer di sudut samudra

rembulan membayang di matamu
hingga ia pun bergoyang dihiasi
linangan air mata
merah penuh noda luka

nyanyian malam hinggap di dadamu
mengisi rongga-rongga rindu di hati
takkan hilang di sungai dangkal
kau…
merasakan semilir kata yang kuucapkan

2009



Malam 2

senja memantulkan harapan
pada sebuah ilalang yang bergoyang
terpejam impian dalam mulut mentari
waktu takkan usang untuk kujalani

senja bertepi, langitpun kelam
rembulan belum tersenyum tapi
kata-kata sudah tercecer di danauku
matamu menyiratkan telaga kerinduan
bayang burung camar mengingatkanku pada
kanvas perempuan bermata anggrek ungu
masih kuingat pada perjumpaan malam itu

apakah malam masih menyelimutimu?
tangannya melindungimu dari sisi gelap yang
menempel dalam jubahnya
mungkin juga kehadiranku disitu
saat bintang memanggil, rembulan berayun maka
seketika malam jadi kerinduan

2009




Malam 3

malam masih menjadi catatan beku
meski tersisa setengah waktu milikmu
biar…
tak kau sisakan minuman itu
cepatlah kau habiskan sebelum api cemburu
merobek rasa kangenku
padamu


2009




Malam kerinduan

sepotong rembulan menemani perjalanan ke timur
tak ada sepotong sajak terucap dari
bibirku yang kian beku
pepohonan, jalanan ini masih sepotong
meski kanvas hatiku robek tercecer di sisi jembatan
sebuah ekstase perjalanan lelaki katamu..

rembulan menampakan sepotong wajahnya yang
kusam ditelan waktu
suara rindu tenggelam di dadaku
bila kata terpasung dalam
sepotong balok simbiosis

rembulan mulai berkata-kata
mengatakan sebuah coretan warna hati dan
mengalirnya hati saat perjumpaan
maka biarkan aku kehilangan sepotong jiwa
yang kutitipkan dalam ranjang hatimu





Biodata Penulis

Hernowo Bayuaji dilahirkan di desa sumpiuh pada tanggal 21 juni 1988, ia mengawali hobi menulis puisi saat ia duduk di bangku SD. Dalam pelajaran mengarang ia selalu mendapatkan pujian dari guru kelas. Di bangku SMP ia menjuarai beberapa kejuaraan baca puisi dan macapat (puisi jawa), dari sinilah ia sadar akan bakatnya.Ia mencintai puisi dan sering membuat puisi untuk ditempel di kamarnya, disini ia bercita-cita agar puisinya dapat dibaca oleh banyak orang. Ia mulai menulis puisi dari SMP serta menulis cerpen, namun sayangnya karya-karyanya dikonsumsi sendiri. Di bangku SMA karya-karyanya sudah mulai dipublikasikan meski jumlahnya sedikit, dari majalah Gaul sampai Mop.

Bayuaji adalah seseorang yang tenggelam dalam lautan imajinasi, dan ia tak ingin kembali ke dunia yang dulu. Ia adalah seseorang yang idealis dan memiliki hobi untuk menuliskan segenggam realitas kehidupannya dan dimanifestasikan ke dalam puisinya. Baginya puisi adalah danau, dan kata yang meloncat adalah ikan. Ikan akan selalu leluasa bergerak bebas seperti kata yang meloncat dari puisi.Ia memiliki motto yaitu agar tak menyerah pada keadaan dan selalu berusaha menjadi yang terbaik.

Karya-karyanya antara lain terkumpul dalam berbagai buku antologi puisi yaitu Syair fajar(penerbit mimbar), Ketika malam tak mau pulang dan buku Boepoest press.


2009

Kepenulisan sastra

BUKU ALAMAT REDAKSI MEDIA MASSA CETAK


Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya

Akal orang-orang mulia terletak ujung-ujung penanya...


Berikut ini alamat-alamat redaksi surat kabar dan tabloid yang bisa Anda manfaatkan sebagai media untuk mempublikasikan tulisan-tulisan Anda. Ada beberapa yang memuat rubrik-rubrik yang menarik untuk kita ikuti dan memang biasanya berasal dari para pembacanya.Semoga ini bermanfaat bagi dunia kepenulisan.

Redaksi Majalah Alkisah
Jl. Salemba Tengah 58, Jakarta Pusat
Telepon : 021-2306188, 39899033, 39899030

Redaksi Majalah Annida
Jl. Kemuning No 2 Utan Kayu Jakarta Timur
Telepon : 021-9113386, fax : 8580569
E-mail : annida @ummigroup.co.id.
Web : http ://www.ummigroup.co.id.

Redaksi Bandung Art Forum
Jl. LL. RE Martadinata 66 Bandung 40132
Ph : 022-42021
E-mail: artforum@bae.or.id.
bandungartforum@hotmail.com

Redaksi Bernas
Jl IKIP PGRI Sonosewu, Yogyakarta 55162
Telp: 0274-377559, Fax:419455
Email: koranbernas@yahoo.com

Redaksi Hidayah
Jl. Kramat III No. 13A-B Jakarta 10420
Telp. 921-3148148, 314832
Fax : 021-3149504
Email : hidayah_ intisari@yahoo.com

Redaksi Jawa Pos
Grha Pena, Jl. A. Yani 88, Surabaya
E-mail:editor@jawapos.co.id.

Redaksi Jurnal MQ
Graha MQ Jl. Gegerkalong Girang Baru No. 5, Bandung 40153
Telp: 022-2008844, Fax: 8091640
E-mail: majurnal@mqmedia.com,
mqjurnal@yahoo.com

Redaksi Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27, Jakarta Selatan 12810
Telp. 021-83702005, fax: 8302434

Yunior-Suplemen Anak Suara Merdeka
Jl. Kaligawe Km. 5 Semarang 50118
Telp 024-6580900
Fax. 024-6580605
Kertas Kuarto A4 spasi 2
Rubrik Halo Sahabat
Rubrik Cover story
Liberty liputan berita yunior
Jelajah
Ngelaba, pengetahuan lama dan baru
Asal tahu
Cerita Pilihan
Warior wartawan yunior
Pengalamanku
Sinema
Puisi
Gambar
Jejak Tokoh
Dongeng
Unik Dunia


Panjebar Semangat
Jl GNI No 2 (Jl. Bubutan 87) Surabaya 60174
Telp 031-5344233
Pangudarasa
Sariwarta
Dredah&Masalah
Crita Sambung
Crita Cekak
Wisata
Kok rena-Rena
Kasarasan
Apa tumon
Glanggang Remaja
Wacan Bocah

Kedaulatan Rakyat
Jl P. Mangkubumi 40-42, Yogyakarta 55232

Kolong Budaya
Jl. Mayjen Bambang Soegeng 262-A
PO BOX 279 Magelang
Telp 0293-325630
E-mail: tera@magelang.wasantara.net.id

Kompas
Jl Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270
E-mail: opini@kompas.com

Minggu Pagi,
Jl. P. Mangkubumi 40-42, Yogyakarta 55232

Muslimah, Jl Kramat III No 13A-B Jakarta 10420

Poles
Jl Pakuwojo No.12 Wonosobo

Republika
Jl Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta 12510
Web : www.republika.co.id.
E-mail : skretariat@republika.co.id

Seni Budaya
Jl Merdeka No 33 Bandung 40117
Solo Pos
Griya Solo Pos
Jl Adisucipto No. 190 Solo 57145

Suara Merdeka
Jl Raya Kaligawe Km. 5, Semarang 50118

Redaksi Tabloid Cempaka
Jl Merak No 11
Semarang

Redaksi Majalah Bobo
Jl Palmerah Selatan 22 Jakarta 10270

Redaksi Kompas Minggu
Jl Palmerah Selatan 26-28
Jakarta 10270
Seni/Cerpen

Redaksi KR MInggu
Jl P Mangkubumi 40-42
Yogyakarta 55232
Kawanku (KR Cilik)
Cernak
Husada
Tubuh Sehat
Bedah Buku
Budaya

Redaksi Kompas Anak
Jl Palmerah Selatan No 20-28
Jakarta 10270
Naskah. Cerpen, Dongeng (3-4 halaman)
Diketik dua spasi

Redaksi Ummi
Jl Mede No 42 A Utan Kayu Jakarta Timur 13120
(021) 8193242
Khas Ummi
Mutiara Islam
Subhanallah Tahukah engkau
Artikel
Keluarga
Obrolan
Psikologi
Ufuk Luar
Fiksi:Cerpen: Cerbung
Dapur
Kissah

Redaksi KR
Jl P. Mangkubumi 40-42
Yogyakarta 55232

Redaksi Kartini
Jl garuda No 80 A Jakarta Pusat

Redaksi Nurani
Jl Karah Agung 45 Surabaya

atau
Graha Pena Building
Jl A Yani 88 Surabaya

Atau
Jl Kebayoran Lama Pal 7 No 39 Grogol Utara Jakarta Selatan

Redaksi MQ
Graha MQ
Jl Gegerkalong Girang Baru No 5 Bandung

Redaksi UMMI
Jl Mede No 42 A Utan Kayu Jakarta Timur 13120


Redaksi Republika
Jl Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510

Redaksi YUNIOR
Bacaan Anak Cerdas Supplemen Anak Suara Merdeka
Jl Kaligawe km 5 Semarang 50118

Redaksi Suara Merdeka
Jl. Raya Kaligawe km 5 Semarang
redaksi@suaramerfamili.com.

Radio Australia

Kotak Pos 2299
Jakarta
Australian Broadcasting Commisional

Redaksi Majalah Hidayah
Kota Wisata cibubur
Senkom Amsterdam. Blok H/I
Jl Transyogi km 6 Cibubur 16968

Redaksi Panjebar Semangat
Jl GNI No 2 (Jl Bubutan 87) Surabaya 60174

Chairil Anwar




Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. (written by: Bayu)



PUISI KARYA CHAIRIL ANWAR

DOA

Tuhanku
Dalam termangu, aku masih menyebut namaMu
Walau susah
sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Di pintuMu aku me­ngetuk
Aku tidak bisa berpaling


DI MESJID

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.



RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.


AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Jumat, 16 Oktober 2009

Puisi

Aku bayangkan got yang kau pajang

-- Dody Kriswaloejo


ketika hujan aku tak pernah membayangkan
bagaimana keajaiban tercipta
tapi tidak melalui got yang kau angankan
betapa sajakmu membuat hantu hantu bangkit tidur
persis tanah Surabaya dengan keinginan lembab Samun

betapa aku inginkan melukis sajakmu sebagai bukit dan kau arung melebihi bayangan kota bodoh dengan anjing menyalak
tapi aku tak ingin lahir serupa puisimu
aku ingin meledakkan rumah rumah utara
yang kau kira berubah hitam sejak sungai tak lagi kau alirkan di lenganmu
seperti barisan tanah yang lebih sakit hati dari elang elang hujan

gerimis yang kupajang melebihi bentang gaun pelacur
selebihnya sungai dengan hantu hantumu yang
tak perawan

inilah keinginan kota kota selatan
bagaimana sajakku membaca sejarah sebagai dunia tanpa ketololan
sebab kau lebih layak
terpotong sebagai penyair simbolis
yang sudah terbantai sejak
patung patung bermimpi mengelupas di kulitmu

Surabaya, Juni 2007

* Dody Kristianto, lahir 3 April 1986. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Penikmat Kajian Sastra, Seni dan Budaya. Bergiat pada kelompok Jeda Interlude dan Komunitas Penulis lepas (www.penulislepas.com). Beberapa sajaknya pernah muncul di beberapa media.


PUISIKU
Kusimpan jantung ketulusan


kusimpan jantung ketulusan
saat kau curi hatiku
meremukkan asaku setiap waktu memerkosaku
hingga lelah...
jarum jam mulai menggigil di angka 12
terpasung kata-kataku
tangan ini mencekik sendiri lukisan
yang kusimpan dalam-dalam
mengirimkan secercah cuaca
hati kau aku...

kusimpan jantung ketulusan
hingga kubiarkan diriku
terpanggang dalam bara api
kutatap malam berlalu
kesunyian bagaikan badai samudra
menenggelamkan kapal, melilit asaku
dalam gelombang berpusar

kusimpan jantung ketulusan
saat kau berikan jiwamu dalam danau hatiku
jiwa tersentak terbangun
kata-katamu membiaskan pengkhianatan
kelembutanmu menindasku
kilau senyumanmu dahulu
tertawa kau merobek kanvas hatiku
hingga hilang diceburkan di serayu
dalam maya mimpi
aku menangis meratap merindukanmu

Karya : Bayuaji




Kanvas tak berbentuk

Apa yang kulukiskan
Kuas perasaanku terbawa anjing
Warna lukisan blabur terhempas
Ketika aku melukis hanya tergambar wajah
dalam janin yang usang...

Karya : Bayuaji


Hernowo Bayuaji seseorang yang idealis dan telah bercerai dengan dunia yang lalu dan tersesat dalam dunia baru. Dalam dunia barunya ia menyukai mencium sajak dan bertualang dalam hutan imajinasinya yang liar dan belukar. Saat ini ia sedang menggarap sebuah novel terbarunya berjudul "Jangan biarkan mawar merah menanti putih"
OASE BUDAYA ( Festival Kesenian Indonesia 2009)


FESTIVAL Kesenian Indonesia (FKI) adalah pertemuan bagi 7 perguruan tinggi seni di Indonesia, meliputi IKJ, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STSI Bandung, STSI Padang Panjang, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta STKW. Kegiatan yang berlangsung dalam rentang dua tahunan dan penyelenggaraan kegiatan dilaksanakan secara bergilir.

FKI adalah salah satu kegiatan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) yang dibentuk pada tahun 1999 atas prakarsa Prof. Dr. I Made Bandem yang kala itu menjabat sebagai Rektor ISI Yogyakarta

FKI berfungsi sebagai sarana membentuk ruang kreatif dan dialogis tujuh perguruan tinggi seni di Indonesia. Sejak tahun 1999, FKI telah berlangsung selama 5 kali, yaitu di ISI Yogyakarta (FKI I Th. 1999), STSI Padangpanjang (FKI II Th. 2001), STKW Surabaya (FKI III Th. 2003), dan STSI Bandung (FKI IV Th 2005), dan ISI Denpasar (FKI V/2007).

Pada kesempatan kali ini, FKI VI/2009, IKJ mendapat kesempatan sebagai tuan rumah kegiatan, yang akan dilaksanakan pada 5-8 Oktober dan 18-24 Oktober 2009 dengan tema Exploring Root of Identity. Tema ini mengandung makna bahwa setiap seni budaya dan industri budaya harus dicari dari akar kekuatan budaya sendiri.

Kegiatan FKI VI/2009 meliputi pertunjukan tari, teater, musik etnik, symphony, pameran seni rupa dan fotografi, aneka workshop kreatif, dan acara khusus yang melibatkan mahasiswa seperti street fashion, karnaval, lukis mural, bazaar, dan pentas seni (musik atau band). Jadwal lebih lengkap bisa dilihat di situs Taman Ismail Marzuki.

Mencatat Inti Kehidupan

Biarkan kata-kata terus melayang mengisi duniaku, agar selalu indah dan estetik!